Tradisi Ngerebong, Tradisi Sakral Desa Kesiman

Tradisi Ngerebong merupakan tradisi kuno Desa Kesiman yang sudah berusia ratusan tahun. Lewat upacara yang digelar setiap 210 hari sekali ini, warga desa percaya akan diberi keselamatan terhindar dari wabah dan bencana.
Ngerebong, tradisi unik di Desa Pekraman Kesiman. Ngerebong merupakan tradisi yang digelar delapan hari setelah Hari Raya Kuningan yakni Redite Pon Wuku Medangsia menurut penanggalan kalender Bali.
Tradisi Ngerebong ini pun tidak hanya tertutup untuk masyarakat Bali saja, melainkan juga terbuka bagi masyarakat umum yang ingin menyaksikan. Namun untuk bisa menikmati keunikan tradisi tersebut, anda diharuskan memakai pakaian tradisional khas Bali dan pantangan bagi seorang wanita yang sedang datang bulan memasuki areal pura.
Ngerebong sendiri berasal dari bahasa Bali yang artinya berkumpul. Masyarakat setempat percaya bahwa pada hari ngerobong adalah hari dimana para dewa berkumpul. Pusat dari tradisi ini dilakukan di Pura Petilan daerah Kesiman Denpasar.
Upacara Ngerebong itu sendiri bertujuan untuk mengingatkan umat hindu melalui ritual sakral tadi untuk terus memelihara keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam.
Sebelum acara puncak dimulai biasanya masyarakat sudah memenuhi area acara dengan adanya beberapa suguhan seperti alunan musik tradisional, bunga-bungaan dalam tempayan cantik, serta penjor-penjor. Masyarakat  mengawali upacara ini dengan sembahyang di Pura tersebut.
Puncak acara dari tradisi Ngerebong ini ditandai dengan penyisiran jalan oleh pecalang (polisi adat setempat). Kemudian para pemedek keluar dari pura untuk melanjutkan ritualnya dengan mengelilingi wantilan tempat adu ayam tadi sebanyak 3 kali putaran. Pada saat mengitari wantilan beberapa pemedek akan mengalami kesurupan/kerasukan dengan berteriak, menggeram, menangis sambil menari diiringi alunan musik tradisional.

Sekilas Tentang Pangrebongan Kesiman
Pura Pangrebongan atau dikenal dengan Pura Petilan merupakan salah satu pura di Denpasar yang keberadaannya sangat erat kaitannya dengan sejarah puri di Kesiman. Pura yang terletak di sisi utara Jalan WR. Supratman, Denpasar tersebut memiliki nilai sejarah dan tradisi unik yakni Ngerebong setiap Redite Pon Medangsia.
Sekilas mengenai sejarahnya, awalnya Puri Kesiman bertempat di sebelah timur Sungai Ayung. Nama purinya waktu itu adalah Puri Kertalangu yang dipimpin oleh raja dari keturunan Arya Pinatih. Dalam bahasa Bali, kertalangu berarti tertib, indah, menyenangkan.
Atas prakarsa Raja waktu itu, di selatan Puri Kertalangu didirikanlah pura sebagai tempat pemujaan dan juga untuk menyatukan rakyat yang menjadi tanggung jawab kerajaan. Pura tersebut diberi nama Pura Dalem Kesiman. Meski namanya Pura Dalem Kesiman, namun pura tersebut bukanlah pura dalem unsur dari khayangan tiga melainkan hanya sebutan untuk tempat pemujaan raja zaman dahulu. Sebab, istilah dalem merupakan sebutan raja zaman dahulu.
Setelah beberapa lama, Raja di Puri Kertalangu ada masalah dengan Dukuh Sakti dari Pahang. Untuk menyelamatkan keluarga Puri Kertalangu, Raja berpindah ke daerah Sanur dan kemudian mendirikan pura di Pantai Sanur dengan nama Pura Jumenang. Dengan pindahnya Raja Puri di Kertalangu ke Sanur, maka rakyat Kesiman menjadi tidak terurus dengan baik. Keadaan ini kemudian didengar oleh Raja Badung yang bertahta di sebelah barat Sungai Badung. Untuk mengatasinya, maka Raja Badung (Pemecutan) mengutus putranya dan menetap di Puri Kedaton atau Puri Kesiman Ugi. Untuk memikat hati rakyat, maka berbagai tempat pemujaan diperbaiki termasuk juga Pura Petilan.
Saat pemerintahan Puri Kedaton, upacara tersebut dilakukan secara tetap di Pura Petilan atau yang lebih populer dengan nama Pura Pangrebongan. Upacara itu pun dilakukan secara tetap setelah Pura Petilan dipugar dan dilengkapi dengan berbagai pelinggih.
Perjalanan pemerintahan Puri Kedaton berjalan cukup lama. Setelah berjalan tiga keturunan, Raja Kesiman meninggal bersama permaisurinya dan meninggalkan seorang putri yang bernama Anak Agung Istri Putu Ngurah. Sebagai seorang putri yang ditinggal kedua orang tua dan saudaranya tentunya sangat kebingungan terutama dalam menyelenggarakan upacara pitra yadnya bagi orang tuanya yang meninggal itu. Dalam keadaan itu, sang putri berkaul barang siapa yang mampu menyelenggarakan upacara pitra yadnya ayahnya A.A. Istri Putu Ngurah Alan bersedia menjadi istrinya dan akan setia pada sang suami.
Mendengar kaul sang putri, maka perbekel kerajaan dari warga Tangkas menghadap Raja Badung melaporkan kaul sang putri. Raja Badung akhirnya mengutus putra kerajaan yang bernama Anak Agung Gede Pemecutan untuk memenuhi kaul sang putri. Setelah menyelenggarakan upacara pitra yadnya, akhirnya putra kerajaan menikahi sang putri.
Putra raja Badung inilah yang menjadi raja di Kesiman dengan gelar Cokorda Kesiman atau Batara Inggas. Sebagai raja baru, beliau mendirikan puri baru di sebelah barat Puri Kedaton atau Puri Kesiman Baru. Untuk menguatkan dukungan rakyat di Kesiman, maka tempat pemujaan di wilayah Kesiman pun diperbaiki. Di bagian timur Pura Petilan dibangun tempat pemujaan warga Pasek, Warga Gaduh, Warga Dangka. Demikian juga tempat pemujaan yang ada hubungannya dengan Pura Petilan dipugar oleh Raja. Pura tersebut antara lain Pura Kedaton, Pura Urasana, Pura Kesiman, dan Pura Tojan. Demikian juga upacara di Pura Petilan diteruskan dan saat upacara, Raja pun bersama rakyat ikut bersembahyang bersama-sama di Pura Petilan. Pengrebongan arca penambahan raja juga ikut diusung dan distanakan di Gedung Agung bersama arca Dalem Kesiman.
Di Pura Petilan Kesiman terdapat pelinggih gedong agung yang terletak di tengah-tengah dengan dasar bedawang nala tempat menstanakan arca. Ada juga gedong di sebelah gedong agung tempat menstanakan pura manca pengerob dan semua pecanangan atau pratima dari seluruh pura di daerah kesiman saat upacara pengerebongan di Pura Petilan.
Pura Petilan sangat menarik karena sebagai pemersatu rakyat dengan berbagai soroh atau warga dengan berbagai profesinya. Mereka disatukan atas dasar kekuatan keagamaan seperti keberadaan pura yang tidak hanya berfungsi sebagai media pemujaan pada Tuhan dan roh suci leluhur, melainkan juga untuk menjangkau aspek sosial budaya.

Seluk Beluk Caru dan Tawur


Pendahuluan Dalam Bahasa Sanskerta, caru artinya cantik, indah, harmonis; dalam Bahasa Kawi, caru artinya kurban. Sebagai kata kerja, mecaru artinya menghaturkan kurban untuk memperindah dan mengharmoniskan sesuatu. Dalam arti yang lebih tegas, mecaru adalah suatu upacara kurban yang bertujuan untuk mengharmoniskan bhuwana agung dan bhuwana alit agar menjadi baik, indah, lestari. Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Trihitakarana, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Gama Tirta, agar terjadi keharmonisan dalam hubungan antara manusia dengan Sanghyang Widhi (Parhyangan), hubungan antara manusia dengan sesama manusia (Pawongan) dan hubungan antara manusia dengan alam (Palemahan). Upacara pecaruan ada yang dilakukan dalam bentuk kecil sehari-hari, disebut Nitya Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika Karma. Jenis-jenis Caru dan Tawur Lontar Dewa Tattwa membedakan jenis-jenis Caru dan Tawur sebagai berikut:
  1. Yang diadakan bila ada kejadian tertentu misalnya: bencana, bencana alam, hama penyakit, gerhana matahari, huru-hara, perang, dll.
  2. Yang diadakan: sehari-hari, hari tertentu, sasih (bulan) tertentu, dan warsa (tahun) tertentu.
  3. Yang diadakan disuatu tempat: pekarangan, rumah, pura, sanggah, Banjar, Desa, seluruh pulau (Bali), seluruh dunia, danau, laut, hutan, gunung, dll.
  4. Mengikuti upacara pokok Panca Yadnya.
Dalam Lontar Dewa Tattwa dibedakan pula antara Caru danTawur. Yang termasuk Caru: Ekasata, Pancawarna, Pancasata, Pancasanak, Pancanak-madurga, Ngeresigana. Yang termasuk Tawur: Manca Kelud, Balik Sumpah, Tawur Gentuh, Mancawalikrama, Ekabhuwana, Tribhuwana, Ekadasarudra. Mitologi Bhutakala menurut Lontar Bhumi Kemulan dan Lontar Siwa Gama Sebelum membahas seluk beluk upacara Pecaruan dan upacara Tawur, terlebih dahulu perlu diketahui asal mula keberadaan Bhutakala, karena upacara Pecaruan dan upacara Tawur bertujuan untuk nyomia (mensucikan) bhuta. Bhuta, artinya sesuatu yang sudah ada; Kala, artinya kekuatan atau energi. Penggunaan istilah sering disatukan sebagai Bhutakala, ada juga hanya Bhuta, dan ada juga hanya Kala. Namun esensi ketiganya sama. Keberadaan Bhutakala awalnya karena Bhatara Siwa ingin mencipta alam semesta. Dalam hal ini Bhatara Siwa mempunyai lima putra, yang disebut Panca Korsika. Mula-mula Ia mengutus keempat putra-Nya yaitu: Sang Korsika, Sang Garga, Sang Maitridan Sang Kurusya, namun mereka gagal menjalankan tugas. Karena gagal, keempat putra Bhatara Siwa itu dikutuk menjadi Bhutakala. Kemudian Bhatara Siwa meminta putra-Nya yang kelima bernama Sang Pretanjala untuk mengambil alih tugas saudara-saudara-Nya itu. Sang Pretanjala mohon agar Ia dibantu oleh Ibu-Nya: Dewi Uma. Permintaan ini dikabulkan oleh Bhatara Siwa. Maka Dewi Uma dan Sang Pretanjala berhasil menciptakanBhuwana Agung: pertiwi, apah, bayu, teja, akasa, yang disebutPanca Mahabhuta, dan mahluk-mahluk halus. Mahluk-mahluk halus ini ada tiga jenis, yakni yang baik misalnya:  widyadara-widyadari, gandarwa, dan kinara. Yang tidak baik misalnya: raksasa, denawa, pisaca, daitya. Yang ketiga adalah mahluk halus yang derajatnya rendah misalnya: tonya, memedi, bregala-bregali. Dewi Uma kemudian menjelma menjadi Bhatari Durgha dan memecah diri-Nya menjadi lima yakni:
  1. Sri-Durgha, berkedudukan di timur. Ia menciptakan: Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Bhuta Dengen.
  2. Dhari-Durgha, berkedudukan di selatan. Ia menciptakan: Bhuta Kapragan.
  3. Suksmi-Durgha, berkedudukan di barat. Ia menciptakan: Kamala-Kamali, Kala Sweta.
  4. Raji-Durgha, berkedududkan di utara. Ia menciptakan: Bregala-Bregali, Bebai.
  5. Durgha, berkedudukan di tengah-tengah. Ia menciptakan: Bhuta Janggitan di timur, Bhuta Langkir di selatan, Bhuta Lembu Kaniadi barat, Bhuta Taruna di utara, Bhuta Tiga Sakti di tengah-tengah, Bhuta Lambukan di tenggara, Bhuta Hulu-Kuda dan Bhuta Jinggadi barat daya, Bhuta Ijo di barat laut, dan Bhuta ireng di timur laut.
Melihat Dewi Uma menjadi Bhatari Durgha, maka Sang Pretanjala ikut berubah menjadi Mahakala. Ia berkedudukan di tengah-tengah bersama Ibu-Nya dan ciptaan awal mereka: Panca Mahabhuta. Ia mengajak keempat saudara-Nya yang sudah di kutuk menjadi Bhutakala dan memberikan kedudukan kepada mereka masing-masing sebagai berikut: Korsika di timur, Garga di selatan, Maitri di barat, dan Kurusya di utara. Bhutakala yang diciptakan oleh Bhatara Siwa sehubungan dengan kelahiran manusia, menurut Lontar Tutur Kandapat Ketika terjadi pertemuan antara kama bang dengan kama petak(pembuahan) didalam rahim wanita, embrio (jabang bayi) ditemani oleh Kandapat yang bertugas memelihara dan membesarkan bayi. Kandapat itu bernama Kandapat Rare, terdiri dari Karen, Bra, Angdian dan Lembana. Setelah embrio berusia 20 hari Kandapat itu bernama Anta, Preta, Kala, Dengen.  Setelah bayi berusia 40 minggu dalam kandungan, Kandapat bernama: Ari-Ari, Getih, Lamas, Yehnyom. Setelah bayi lahir dan setelah talipusarnya putus, Kandapat bernama: Mekair, Salabir, Mokair, Selair. Ketika bayi mulai belajar berbicara, Kandapat Rare berubah menjadi Kandapat Bhuta, bernama: Anggapati, Mrajapati, Banaspati, dan Banaspati Raja. Anggapati yang berasal daripertiwi (tanah) berkedudukan di timur, Mrajapati yang berasal dari apah (air) berkedudukan di selatan, Banaspati yang berasal dari teja (matahari) berkedudukan di barat, dan Banaspati Raja yang berasal dari bhayu (angin) berkedudukan di utara. Bhutakala yang diciptakan oleh Bhatara Siwa untuk menguji manusia dalam menghadapi Hari Raya Galungan, menurut Lontar Sri Jayakasunu Pada hari Redite, Paing, Dungulan, diturunkan Bhuta Amangkurat. Pada Soma, Pon, Dungulan, Bhuta Dungulan, dan pada Anggara Wage, Dungulan, Bhuta Galungan. Bhutakala yang menguasai sasih (bulan), menurut Lontar Bhumi Kemulan, Lontar Siwa Gama, dan Lontar Tutur Lebur Gangsa Ke|Nama Sanskrit|Nama Bali|Bhutakala yg menguasai 1|Srawana|Kasa|Bhuta Bregala 2|Bhadrawada|Karo|Bhuta Amangkurat 3|Asuji|Katiga|Kala Prayogi 4|Kartika|Kapat|Kala Wigraha Bhumi 5|Margasira|Kalima|Kala Mangsa 6|Posya|Kanem|Kala Semayapati 7|Magha|Kapitu|Kala Ngadang Semaya 8|Palguna|Kawolu|Kala Dengen 9|Caitra|Kasanga|Kala Rogha 10|Waisaka|Kadasa|Kala Wijaya 11|Dyestha|Mala|Kala Solog 12|Asadha|Mala|Kala Banaspati Catus Pata (Lontar Dewa Tattwa dan Lontar Eka Pratama)
  1. Trimurti menugaskan para  Sulinggih-Sulinggih berpaham Siwa, Waisnawa, dan Bodha untuk “nyomia” Bhutakala melalui upacara/upakara Caru atau Tawur.
  2. Sebelum nyomia para Bhutakala para Sulinggih memohon agar Bhatari Durga berkenan kembali menjadi Dewi Uma dan Mahakala kembali menjadi Pretanjala. Untuk ini dihaturkan banten jangkep yang ada di panggungan.
  3. Catus Pata dipilih sebagai tempat pelaksanaan Tawur (terutama pada Tawur Kesanga) karena di Catus Pata – lah mula pertama Dewi Uma berubah menjadi Bhatari Durga serta mencipta wateking Bhutakala tersebut, dan di Catus Pata pula Sang Pretanjala berubah menjadi Mahakala
  4. Di zaman lampau Catus Pata ditetapkan oleh Raja atas saran Bhagawanta. Kini bagi Desa-Desa Pakraman yang baru,penetapan Catus Pata dilakukan oleh perarem Desa Pakraman setelah mendapat saran dari seorang Sulinggih.
Mepepada (Manawa Dharmasastra V.31, Lontar Dharma Caruban, Lontar Tutur Lebur Gangsa) Yajnaya jagdhir mamsasye, tyesa daivo vidhih smrtah, ato ‘nyatha pravrttistu raksaso vidhir ucyate. Pemakaian daging adalah wajar untuk upacara kurban, hal mana dinyatakan sebagai peraturan yang dibuat oleh Dewa, tetapi jika memaksa memakainya dalam kejadian lain adalah peraturan yang cocok untuk para raksasa.
  1. “Peraturan yang dibuat oleh Dewa” dituangkan dalam Lontar Dharma Caruban dan Lontar Tutur Lebur Gangsa dalam bentuk upacara mepepada, yang diadakan di Pura Desa setempat sebagai linggih Bhatara Brahma.
  2. Semua beburon sebelum diupacarai dimandikan terlebih dahulu kemudian dikenakan kain menurut warna pengider disertai kalungan uang kepeng manut urip.
  3. Alat-alat yang ikut diupacarai: blakas, golok, taledan, lumpyan, pane, lesung, tungku, talenan, payuk, ilih, siut, sendok, katikan sate, cubek. Juga disertai lakar base genep.
Penggunaan hewan dalam Caru dan Tawur (Lontar Sudamala dan Lontar Kala Tattwa)
  1. Ayam manca warna, masing-masing untuk: putih – Bhuta Janggitan, biying – Bhuta Langkir, siungan – Bhuta Lembu Kania, hitam – Bhuta Taruna, brunbun – Bhuta Tiga Sakti
  2. Ayam biying kuning, untuk Bhuta Jingga **)
  3. Ayam ijo, untuk Bregala-Bregali, Bebai
  4. Ayam Ijo, untuk  Bhuta Ijo ***)
  5. Ayam klawu, untuk Bhuta Ireng ****)
  6. Ayam wangkas, untuk Bhuta Lambukan *)
  7. Angsa putih, untuk Korsika
  8. Asu bang bungkem, untuk Bhuta Hulu Kuda
  9. Banteng, untuk Bhuta Ijo ***)
  10. Bawi palen,untuk Mahakala
  11. Bebek belang kalung, untuk Panca Mahabhuta
  12. Bebek bulu sikep, untuk Bhuta Lambukan *)
  13. Godel, untuk: Gargha, Kapragan, Mrajapati.
  14. Kambing coklat/kuning, untuk Maitri, Kamala-Kamali, Kala Sweta, Banaspati
  15. Kambing coklat, untuk Bhuta Jingga **)
  16. Kambing selem, untuk Kurusya, Bnaspati Raja
  17. Kambing sewarna, untuk tapakan Bhatara Di Sanggar Tawang
  18. Kebo yusmerana, untuk Bhuta Ireng ****)
  19. Kidang, untuk Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Dengen, Anggapati
  20. Manjangan, untuk Bhuta Ijo ***)
  21. Penyu (punggalan), sampelan kebo, sampelan kambing, untuk pelengkap catur niri
(Tanda bintang artinya ada Bhuta yang sama memerlukan beberapa binatang kurban untuk di-“somya”) Olahan hewan (beburon) menurut Lontar Dharma Caruban
  1. Kinelet melayang-layang: kepala, kaki, ekor, dan kulit utuh
  2. Winangun urip: letak hewan tertelungkup dan ada unsur-unsur tulang rusuk, tulang punggung, tulang kaki dan tulang ekor
  3. Urab/Reramesan barak dan putih: berisi daging, lidah, hati, lemak, kulit, darah (kalau reramesan barak)
  4. Getih matah: darah segar yang ditampung di sebuah kau ketika menyembelih hewan, diiisi lontar nama hewannya
  5. Sate (jejatah) lembat, asem, dan calon disebut Trinayaka sebagai persembahan tubuh hewan termaksud yang suci dengan aksara Ang – Ung – Mang
  6. Gayah: punggalan bawi, winangun urip, mejatah katikan sanjata Dewata Nawa Sanggha, ditambah mejatah katikan-katikan: bagia, orti, surya, candra, tunjung, cempaka, pidpid, sapudaki, konta, japit dumi, oret-oret, satuh, don, jerimpen, ancak, penyeneng, sandat, endongan, satuh, bingin.
Bahan-bahan Upakara dalam Pecaruan (Lontar Sudamala)
  1. Bahan-bahan upakara dalam pecaruan terdiri dari tiga jenis: Mataya, Mantiga dan Maharya. Ephos Mahabharata menyebutkan, Mataya, Mantiga dan Maharya sebagai penganti kurban (caru) manusia. Ketika itu Duryodana menginginkan kurban kepala Panca Kumara (putra-putra Pandawa) tetapi olehAswatama Panca Kumara diganti dengan Mataya, Mantiga dan Maharya. Pengganti tulang-belulang manusia adalah anyaman “sengkui”
  2. Mataya adalah bahan dari tumbuh-tumbuhan: daun, bunga, buah, pohon, biji-bijian, umbi-umbian, arak, tuak, berem.
  3. Mantiga adalah hewan yang lahir dua kali (melalui telur): ayam, bebek, angsa, burung.
  4. Maharya adalah hewan yang lahir satu kali (tidak melalui telur) dan berkaki empat: babi, sapi, kerbau, kambing, anjing
  5. Penempatan hewan caru mengacu pada kedudukan Panca Korsika dan Bhuta, disesuaikan dengan warna bulu hewan itu. Hal ini juga disebutkan dalam ephos Mahabharata, ketika Dewi Kunti hendak mengorbankan Sahadewa untuk “nyupat” Panca Korsika.
Makna simbol warna dalam Upacara Pecaruan (Lontar Dewa Tattwa)
  1. Warna-warna: bulu hewan, kober, tumpeng, kelungah, dangsil, sanganan, nasi, beras, bunga, benang, dll mengikuti warna pengider: sweta (putih), dumbra (merah muda), rakta (merah), rajata (oranye), pita (kuning), syama (hijau), kresna (hitam), biru (abu-abu), dan sarwa suwarna (campuran)
  2. Warna-warna itu selain sebagai identitas Dewa-Dewa yang menjaga keseimbangan, juga sebagai simbol berbagai sifat yang ada dalam diri manusia: putih: suci; merah-muda: kesucian yang ternoda oleh kemarahan; merah: marah; oranye: marah karena nafsu tak terpenuhi; kuning: nafsu; hijau: serakah; hitam: iri-hati; abu-abu: iri-hati yang terselubung.
  3. Dari 9 warna yang ada, hanya 1 (warna putih) sebagai simbol sifat baik yang bisa dikalahkan oleh warna lain simbul keburukan. Oleh karena itu warna putih dibanyakkan dengan tepung beras yang dirajah pada banten Rsi Gana.
  4. Dengan demikian sifat-sifat buruk manusia diusahakan di-”somiya” melalui pecaruan sehingga Asuri Sampad (sifat keraksasaan) dapat berubah menjadi Daiwi Sampad  (sifat kedewataan)
Urip/Neptu dalam pe-caruan/tawur (Lontar Warigha Bhagawan Gargha)
  1. Urip/neptu artinya: hidup, baik, lancar mencapai tujuan. Berkaitan dengan dewasa atau waktu yang mempunyai pengaruh besar pada alam semesta (bhuwana agung) serta menuntun manusia menuju hidup yang harmonis, bahagia, sejahtera.
  2. Penggunaan urip/neptu pada caru dasarnya adalah panca wara, karena sesuai dengan mitologi panca korsika, yakni: umanis urip 5 di timur, paing urip 9 di selatan, pon urip 7 di barat, wage urip 4 di utara, dan kliwon urip 8 di tengah. Jumlah urip panca wara = 33 juga sesuai dengan jumlah Dewa menurut Sathapatabrahmana dimana para Dewa diyakini berperan menjaga keselamatan bhuwana agung.
  3. Penggunaan urip/neptu pada tawur dasarnya membentuk padma bhuwana (lingkup bhuwana agung menurut pengider-ider) maka digunakan astawara, dimana urip panca wara diatas ditambah dengan: guru urip 8 di tenggara, rudra urip 3 di barat daya, kala urip 1 di barat laut dan sri urip 6 di timur laut. Jumlahnya = 18 dimana secara matematis total digit: 1 + 8 = 9 (jumlah pengider-ider dewata nawa sanggha)
  4. Urip/neptu tersebut digunakan dalam banten caru/tawur untuk antara lain jumlah:  tumpeng, reramesan, sate, tangkih, jinah, dll.
Tabuh Rah (Lontar Siwa Tattwa Purana) “…..mwah ring tileming kesanga, hulun megawe yoga, teka wang ing madyapada magawe tawur kasowangan, den hana pranging sata, wenang nyepi sadina ika labain sang Kala Dasa Bhumi; yanora samangkana rug ikang ning madhyapada………” Syarat-syarat tabuh rah menurut kesimpulan komisi 2 seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu tahun 1976 di Denpasar:
  1. Diadakan sekitar area caru/tawur, bertepatan dengan upacara.
  2. Sabungan ayam 3 seet (ronde) semuanya setelah itu disambleh
  3. Diikuti dengan adu buah kelapa, telur bebek dan tingkih 3 kali
  4. Ada “toh” namun tanpa unsur judi, artinya kemenangan toh di dana-puniakan kepada penyelenggara caru/tawur
Maka sebaiknya dalam Pecaruan atau Tawur diadakan tabuh rah berdekatan dengan arena tawur, namun diawasi agar tidak berubah menjadi tajen. — Sumber: stitidharma

Makna Penjor bagi umat Hindu


Makna penjor bagi umat Hindu dari jaman dulu hingga kini bahkan hingga nanti dalam menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widi Wasa menggunakan symbol-simbol. Dalam Agama Hindu simbol dikenal dengan kata niasa ialah yang merupakan pengganti yang sebenarnya. Bukan agama saja yang memanfaatkan simbol, bangsa juga memanfaatkan simbol-simbol. Bentuk dan jenis simbol yang berbeda tetapi memiliki fungsi yang sama. Dalam upakara terdiri dari tidak sedikit macam material yang dimanfaatkan yang merupakan simbol yang penuh memiliki makna yang tinggi, di mana makna tersebut berkaitan isi alam (makrokosmos) dan isi permohonan manusia kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Untuk mencapai keseimbangan dari segala factor kehidupan seperti Tri Hita Karana. Penduduk di Bali sudah tak asing lagi dengan penjor. Masyarakat mengenal dua (2) tipe penjor, antara lain Penjor Sakral dan Penjor hiasan. Merupakan bagian dari upacara keagamaan, contohnya upacara Galungan, piodalan di pura-pura. Sedangkan pepenjoran atau penjor hiasan rata rata dipergunakan saat adanya lomba desa, pesta seni dll. Pepenjoran atau penjor hiasan tak berisi sanggah penjor, tak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll. Penjor sakral yang dipergunakan pada disaat hari raya Galungan berisi sanggah penjor, adanya pala bungkah dan pala gantung, sampiyan, lamak, jajan dll. Definisi Penjor menurut I.B. Putu Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang akan diberikan arti yang merupakan, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda maka jadi kata, “Penyor” yang mengandung tujuan dan pengertian, ”Sebagai Media Untuk Melaksanakan Pengastawa”. Umat Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulanyang dikenal yang merupakan hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Jika rumah menghadap ke utara sehingga penjor ditancapkan kepada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah danlengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor yakni sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yangmuda juga daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (contohnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, pun sanggah Ardha Candra komplit dgn sesajennya. Terhadap ujung penjor digantungkan sampiyan penjor komplit dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran maka wujudnya menyerupai wujud bulan sabit. Maksud pemasangan penjor yaitu sebagai swadharma umat Hindu untuk wujudkan rasa bakti dan berterima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Penjor sebagai tanda terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Bambu tinggi melengkung yaitu gambaran dari gunung yangteratas yang merupakan lokasi yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan dan kain yakni adalah wakil-wakil dari semua tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa. Penjor Galungan yakni penjor yang bersifat relegius, yaitu memiliki fungsi tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan perlengkapan-perlengkapannya. Dilihat dari segi wujud penjor yaitu lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang memberikan kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan yang merupakan dua ekor naga merupakan Naga Basuki dan Ananta bhoga. Selain itu pula, penjor adalah simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan-hiasan yakni ialah bejenis-jenis daun seperti daun cemara, andong, paku pipid, pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi, jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk juga pala bungkah, pala wija dan pala gantung, pula di lengkapi dengan jajan, tebu dan uang. Oleh karena itu, menciptakan satu buah penjor sehubungan dengan pembuatan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tak asal menciptakansaja, tetapi selayaknya penjor tersebut tepat dengan ketentuan Sastra Agama, maka tak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut ialahmerupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, maka mencerminkan adanya nilai-nilai tradisi Agama. Unsur-unsur terhadap penjor yaitu simbol-simbol sebagai berikut : – Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara. – Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma. – Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra. – Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa. – Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara. – Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu. – Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu. – Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa. – Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa. Didalam Lontar “Tutur Dewi Tapini, Lamp. 26”, menyebutkan sebagai berikut : “Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan, Hyang Mahesora Meraga Biting (IB. PT. Sudarsana, 61; 03) WHD No. 478 November 2006. Demikian artikel mengenai arti penjor bagi umat hindu mudah-mudahan berguna. – sumber

Tata Cara Sembahyang dalam Agama Hindu

Dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi khususnya dalam agama Hindu di Bali, tentunya sebagai umat wajib melakukan persembahyangan agar Beliau senantiasa melindungi dan membimbing kita.  Jika dijabarkan, sembahyang terdiri dari dua suku kata yaitu Sembah dan Hyang. Sembah yang artinya “sujud atau sungkem” yang dilakukan dengan cara – cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata – kata maupun tanpa ucapan (pikiran atau perbuatan). Hyang artinya “yang dihormati atau dimuliakan” sebagai obyek pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak menerima penghormatan menurut kepercayaan itu.

Persiapan Persembahyangan Hindu

Dalam melakukan persembahyangan ada beberapa hal yang harus dipersiapkan yaitu sebagai berikut:
1. Kebersihan jasmani
2. Mempersiapkan sarana-sarana seperti:
  • Alas duduk (tikar, dsb)
  • Sebuah nampam yag berisikan: Sebuah gelas/tempat tirtha berisi air bersih (diletakkan di pelingih, pelangkiran, altar, sanggar pemujaan)- untuk memohon tirtha wangsuhpada.
  • Sebuah mangkok kecil berisi beras yang sudah dicuci bersih diberi wewangian (bija)
  • Dupa secukupnya
  • Bunga / canang sari / kwangen secukupnya
3. Mempersiapkan secara Rohani, serperti:
  • Pemusatan pikiran dengan sikap: Padmasana (untuk pria), Bajrasana (unuk wanita), Padasana (berdiri), Savasana (untuk orang sakit), dsb.
  • Menyalakan dupa: Om Ang dupam samarpayami ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba puja Engkau dalam sinar suciMu sebagai Brahma, pengantar bhakti hamba kepadaMu.
  • Menghaturkan dupa: Om Ang dupa dipastra ya namah svaha – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai Brahma, hamba mohon ketajaman sinar sucimu dalam menyucikan dan menjadi saksi sembah hamba kepadaMu.
  • Membersihkan bunga dengan asap dupa: Om puspa danta ya namah svaha – Ya Tuhan, sucikanlah kembang ini dari segala kotoran.
  • Asana: Om prasada sthiti sarira Siva suci nirmala ya namah svaha – Ya Tuhan, anugrahkanlah kepada hamba ketenangan dan kesucian dalam batin hamba.
4. Pranayama dengan sikap tangan Amustikarana:
  • Menarik napas; Om Ang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pencipta dan sumber dari segala kekuatan, anugrahi hamba kekuatan batin
  • Menahan napas: Om Ung namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pemelihara dan sumber kehidupan anugrahi hamba ketenangan batin
  • Mengeluarkan napas: Om Mang namah – Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai pelebur segala yang tidak berguna dalam kehidupan, anugrahi hamba kesempurnaan batin.
5. Karasoddhana
  1. Tangan kanan: Om Soddha mam svaha – Ya Tuhan, sucikanlah seluruh badan jasmani hamba
  2. Tangan kiri: Om Ati soddha mam svaha – Ya Tuha, sucikanlah seluruh badan rohani hamba
Setelah semua dilakukan selanjutnya melakukan Puja Tri Sandya kemudian dilanjutkan dengan Kramaning Sembah. Berikut urutan untuk kramaning sembah:
Muspa Puyung:
Om Atma tattvatma suddha mam svaha
Ya Tuhan, Engkau adalah merupakan sumber Atman dari semua ciptaanMu, sucikanlah hambaMu.
Muspa dengan bunga ke hadapan Siva Adhitya sebagai saksi pemujaan:
Om Adityasya param jyotih
Rakta teja namo’stute
Sveta pangkaja madhyasta
Bhaskaraya namo’stute
Om Hrang Hring Sah paramasiva adhitya ya namah svaha
Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai sumber cahaya yang merah cemerlang, penuh kesucian yang bersemayam di tengah-tengah teratai berwarna putih, sembah sujud hamba kepada sumber segala cahaya, Ya Tuhan, Engkau adalah ayah semesta alam, ibu semesta alam, Engkau adalah Paramasiva devanya matahari,anugrahkanlah kesejahtraan lahir-bathin.
Muspa dengan kwangen/bunga ke hadapan Hyang Widhi dengan Ista devataNya:
Om namo devaya adhistanaya
Sarva vyapi vai sivaya
Padmasana eka prathistaya
Ardhanaresvarya namah svaha
Ya Tuhan, hamba puja Engkau sebagai sumber sinar yang bersinggasana di tempat paling utama, hamba puja sebagai Siva penguasa semua mahluk, kepada devata yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai di suatu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba memuja.
Muspa dengan kwangen/bunga kehadapan Hyang Widhi untuk memohon waranugraha:
Om anugraha manoharam
Deva datta nugrahaka
Arcanam sarva pujanam
Namh sarva nugrahaka
Deva devi mahasiddhi yajnangga nirmalatmakam
Laksmi siddhisca dirgahayuh
Nirvighna sukha vrddhisca
Ya Tuhan, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah pemberian devata, pujaan segala pujaan, hamba memujaMu sebagai pemberi segala anugrah, kemahasiddian pada deva dan devi berwujud yajna suci. Kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan rohani dan jasmani.
Muspa Muyung, sebagai penutup persembahyangan:
Om deva suksma paramacintya ya namah svaha
Om santih santih santih Om
Ya Tuhan, hamba memuja Engkau devata yang tak terpikirkan, maha tinggi dan maha gaib. Ya Tuhan, anugrahkanlah kepada hamba kedamaian, damai, di hati, damai di dunia, dan semoga semuanya damai atas anugrahMu
Tentunya dalam setiap mantra yang dipanjatkan hendaknya kita mampu mengingat akan arti dari setiap mantra tersebut dan juga mampu untuk memahami akan maknanya. Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang tepat atau kurang lengkap mohon dikoreksi bersama. Suksma…

(sumber: Jero Mangku Sudiada, paduarsana.com)

Petunjuk Pengisian Data Dasar Keluarga Pemendagri NO 12 Tahun 2007


klik disini
atau download form lengkapnya klik disini 
atau disini
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 12 Tahun 2007

Tabel Hari Raya Berdasarkan Pawukon


NoWukuSaptawaraPancawaraHari Raya
1SintaRedite
Soma
Anggara
Buda
Paing
Pon
Wage
Kliwon
Banyu Pinaruh
Soma Ribek
Sabuh Mas
Pagerwesi
2LandepSaniscaraKliwonTumpek Landep
3UkirRedite
Buda
Umanis
Wage
Persembahan Bhatara Guru
Buda Cemeng Ukir
4KulantirAnggaraKliwonAnggara Kasih Kulantir
5WarigaSaniscaraKliwonTumpek Wariga/Pangatag
6WarigadeanSaniscaraPaingPenyucian Bhatara Brahma
7JulungwangiAnggaraKliwonAnggara Kasih Julungwangi
8SungsangWraspati SukraWage KliwonSugian Jawa/Parerebon
Sugian Bali
9DungulanRadite
Soma
Anggara
Buda
Wraspati
Saniscara
Paing
Pon
Wage
Kliwon
Umanis
Pon
Panyekeban
Panyajaan Galungan
Penampahan Galungan
Galungan
Manis Galungan
Pamaridan Guru
10KuninganRadite
Soma
Buda
Sukra
Saniscara
Wage
Kliwon
Paing
Wage
Kliwon
Ulihan
Pamacekan Agung
Pujawali Bhatara Wisnu
Penampahan Kuningan
Kuningan
11LangkirBuda
Sukra
Wage
Kliwon
Buda Cemeng Langkir
12MedangsiaAnggaraKliwonAnggara Kasih Medangsia
13PahangBudaKliwonBuda Keliwon Pegatwakan
14KrulutSaniscaraKliwonTumpek Krulut
15MerakihBuda
Sukra
Wage
Umanis
Buda Cemeng Merakih
Wedalan Bhatari Sri
16TambirAnggaraKliwonAnggara Kasih Tambir
17MatalBudaKliwonBuda Kliwon Matal
18UyeSaniscaraKliwonTumpek Kandang
19MenahilBudaWageBuda Cemeng Menahil
20PrangbakatAnggaraKliwonAnggara Kasih Prangbakat
21UguBudaKliwonBuda Kliwon Ugu | di Tegal Penagsaran dll
22WayangSaniscaraKliwonTumpek Wayang
23KulawuBudaWageBuda Cemeng Kulawu | Rambut Sedana
24DukutAnggaraKliwonAnggara Kasih Dukut
25WatugunungSaniscaraUmanisHari Saraswatimemperingati turunnya ilmu pengetahuan
Kutipan Rainan/Hari Suci Umat Hindu di Bali

Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu


Pendahuluan
Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara agama. Ketiganya adalah satu kesatuan integral yang tak terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan umat Hindu. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah aspek pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang baik sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana.Sementara itu aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara sebagai wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Acara agamaadalah wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara ritual, seperti tata cara sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara (eed). Sebaliknya, upakara adalah sarana yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.

Dalam fenomena keberagamaan Hindu di Bali, acara agama tampaknya lebih menonjol dibandingkan dengan aspek lainnya. Acara agama yang seringkali juga disebut upacara atau ritual keagamaan merupakan pengejawantahan dan tattwa dan susila agama Hindu. Acaraagama meliputi keseluruhan dari aspek persembahan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut yadnya. Pada dasarnya yadnya dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi dua, yakni nitya karma dan naimittika karma. Nitya yadnya adalahyadnya yang dilaksanakan sehari-hari, misalnya yadnya sesa atau mesaiban. Sebaliknya,naimittika yadnya adalah yadnya yang dilaksanakan secara berkala atau pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat piodalan, rerahinan, dan hari raya keagamaan Hindu lainnya (Tim, 2005). Akan tetapi sejauh ini masih banyak pihak yang meragukan bahwa acara agamayang tampak dominan di Bali, adalah bertentangan dengan isi kitab suci Weda. Oleh karena itu dalam makalah ini akan diuraikan tentang acara agama Hindu yang pelaksanannya terformulasikan dalam bentuk Panca Mahayadnya.  

Memahami Kerangka Dasar Agama Hindu
Agama Hindu yang diwarisi di Bali sekarang merupakan kelanjutan dari mashab Saivasiddhantayang mulanya berkembang di India Selatan. Akan tetapi perkembangannya lebih lanjut beradaptasi dengan kebudayaan setempat dan membentuk kebudayaan baru. Kearifan lokal Indonesia menjadi kekuatan filterisasi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi pengaruh segala jenis kebudayaan dari India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga menjadikan agama Hindu di Indonesia mempunyai warna yang berbeda dengan induknya, India. Seperti dikemukakan oleh Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72) bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu di Indonesia, yang tetap memperlihatkan kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya menjadikan agama Hindu Indonesia, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan pelaksanaan Agama Hindu di India.
Mashab Saiwasidhanta mendasarkan filosofinya pada Siwatattwa. Siwatattwa mengajarkan bahwa Tuhan yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa adalah asal dan kembalinya segala yang ada. Beliau adalah Brahman bagi Upanisad, Mahawisnu bagi Waisnawa, Khrisna bagiBhagavadgita, dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa bagi umat Hindu di Indonesia. DalamJnanasidhanta dikatakan bahwa Bhatara Siwa yang esa dipuja dalam yang banyak dan yang banyak dalam yang esa (ekatva anekatva svalaksana Bhatara). Sejalan dengan ini, Vedamengatakan “ekam sat viprah bahuda vadanti”, Engkau yang tunggal dipuja dalam banyak nama. Jadi, secara esensial tattwa yang dianut oleh umat Hindu di Bali tiadalah berbeda dengan konsepsi ketuhanan dalam Veda. Artinya, Agama Hindu yang selama ini diwarisi di Bali tidak bertentangan dengan ajaran Veda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu.
Tattwa
Tattwa berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan twa juga berarti ”itu”. Jadi secara leksikal kata tattwa berarti ”ke-itu-an”. Dalam makna yang lebih mendalam kata tattwabermakna ”kebenaranlah itu”. Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat ketuhanan atau teologi. Di satu sisi, tattwa adalah filsafat tentang Tuhan, tetapi tattwa memiliki dimensi lain yang tidak didapatkan dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat merupakan pergumulan pemikiran yang tidak pernah final, tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus diyakini kebenarannya. Sebagai contoh, Wisnu disimbolkan dengan warna hitam, berada di utara, dan membawa senjata cakra. Ini adalah tattwa yang harus diyakini kebenarannya, sebaliknya filsafat boleh mempertanyakan kebenaran dari pernyataan tersebut.  Oleh sebab itu dalam terminologi Hindu, kata tattwa tidak dapat didefinisikan sebagai filsafat secara an sich,tetapi lebih tepat didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama Hindu. Sebagai dasar keyakinan Hindu, tattwa mencakup lima hal yang disebut Panca Sradha (Widhi tattwa, Atma tattwa, Karmaphala tattwa, Punarbhawa tattwa, dan Moksa tattwa).
Susila
`     
      Sementara itu susila berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik, dan sila berarti dasar, perilaku atau tindakan. Secara umum susila diartikan sama dengan kata ”etika”. Definisi ini kurang lebih tepat karena susila bukan hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara berperilaku yang baik, tetapi juga berbicara mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu perbuatan baik harus dilakukan. Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral. Sebaliknya, kata ”moral” berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik. Perbuatan ”membunuh” misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk dilakukan, tetapi ”etika” memberikan landasan bahwa tidak semua tindakan membunuh adalah dilarang. Tindakan membunuh yang dilarang adalah ketika didasari oleh rasa kebencian dan kemarahan, sebaliknya membunuh bagi seorang tentara dalam sebuah peperangan dibenarkan secara etika.
Sampai di sini jelas bahwa antara ”moral” dan ”etika” dibedakan secara konseptual. Moral selalu menjadi bagian dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika berbicara tentang ”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Moral adalah etika-etika khusus yang berlaku dalam skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam, etika Kristen, etika Bali, etika Jawa, etika bisnis dan seterusnya merupakan ajaran moral yang dianjurkan oleh masing-masing institusi tertentu, baik institusi agama maupun institusi sosial. Suatu tindakan yang dianggap bermoral di suatu komunitas, belum tentu bermoral di komunitas yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di atas, terminologi kata ”susila” lebih tepat diterjemahkan dalam kata etika karena memberikan landasan suatu perbuatan. Perintah Sri Khrisna kepada Arjuna untuk membunuh Guru-gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan karena tindakan membunuh terlarang dilakukan. Akan tetapi secara etika hal itu dibenarkan karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.
Upacara
Sementara itu kata acara berasal dari bahasa Sankerta yang menurut Sanskrit- English Dictionary karangan Sir Moonier Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata ”acara” antara lain diartikan sebagai berikut.
(1)   Tingkah laku atau perbuatan yang baik;
(2)   Adat istiadat;
(3)   Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg.
Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem penulisannya (ācāra, acāra, dan acara). Kata ācāra berarti kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik, dan peraturan yang telah mantap. Kata acāra bermakna pergi bersama atau teman. Dapat dibandingkan dengan kata cāraka yang bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan kata parēkan yang bermakna ia yang selalu dekat. Sedangkan kata acara berarti tidak berjalan. Bandingkan dengan kata carācara yang berarti tumbuh-tumbuhan, dengan makna yang tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna tersebut, makna yang digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah makna yang pertama (ācāra), yang memiliki pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan agama Hindu; (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3) peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan Agama Hindu.
Pengertian dari kata acara juga ditemukan dalam kitab Sarasamuccaya (177), sebagai berikut:
nihan pajara mami, phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan wruhing mantra, yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena, yapwan dening anakbi, dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang hyang aji kinawruhan, haywaning gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning prawrtti kawaran ring aji”
Artinya:
Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut dipuja, patut diketahui mantra serta bagian-bagian dari korban kebaktian, widhi-widhana dan lain-lainnya. Adapun gunanya harta kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati dan disederhanakan, akan gina wanita adalah untuk menjadi istri dan melanjutkan keturunan baik pria dan wanita, guna sastra suci adalah untuk diketahui dan diamalkan, ācāra adalah tindakan yang sesuai dengan ajaran agama.
Dari ketiga pengertian Tri Kerangka Agama Hindu di atas semakin jelas bahwa ketiganya memang tidak dapat dipisahkan. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku umat Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya. Sedangkan ācāra menjadi landasan prilaku keagamaan, tradisi, dan kebudayaan religius. Ācāramengimplementasikan tattwa dan susila dalam wujud tata keberagamaan yang lebih riil dalam dimensi kebudayaan. Tanpa adanya ācāra, agama hanyalah seperangkat ajaran yang tidak akan nampak dalam dunia fenomenal. Secara sosio-antropologis, ācāra menjadi identitas suatu agama karena ia melembaga dalam sebuah sistem tindakan. Sebaliknya, tattwa (ketuhanan) sangat abstrak sifatnya, demikian halnya dengan susila yang tidak hanya dibentuk oleh agama, melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan, tata nilai dan norma-norma sosial.

Pedoman sembahyang

PEDOMAN SEMBAHYANG 

Urut-urutan Sembahyang

Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang dipimpin oleh Sulinggih atau seorang Pemangku adalah seperti di bawah ini:

1. Sembah puyung (sembah dengan tangan kosong)
Mantram:artinya:
Om atma tattvatma suddha mam svaha.Om atma, atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.
2. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Sang Hyang Aditya
Mantram:Artinya:
Om Aditisyaparamjyoti,
rakta teja namo'stute,
sveta pankaja madhyastha,
bhaskaraya namo'stute
Om, sinar surya yang maha hebat,
Engkau bersinar merah,
hormat padaMu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih,
Hormat padaMu pembuat sinar.
Saranabunga
3. Menyembah Tuhan sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembahyangan
Ista Dewata artinya Dewata yang diingini hadirnya pada waktu pemuja memuja-Nya. Ista Dewata adalah perwujudan Tuhan dalam berbagai-bagai wujud-Nya seperti Brahma, Visnu, Isvara, Saraswati, Gana, dan sebagainya. Karena itu mantramnya bermacam-macam sesuai dengan Dewata yang dipuja pada hari dan tempat itu. Misalnya pada hari Saraswati yang dipuja ialah Dewi Saraswati dengan Saraswati Stawa. Pada hari lain dipuja Dewata yang lain dengan stawa-stawa yang lain pula.
Pada persembahyangan umum seperti pada persembahyangan hari Purnama dan Tilem, Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Siwa yang berada dimana-mana. Stawanya sebagai berikut:
MantraArtinya:
Om nama deva adhisthannaya,
sarva vyapi vai sivaya,
padmasana ekapratisthaya,
ardhanaresvaryai namo namah
Om, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi,
kepada Siwa yang sesungguhnyalah berada dimana-mana,
kepada Dewa yang yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat,
kepada Adhanaresvari, hamba menghormat
Saranakawangen
4. Menyembah Tuhan sebagai Pemberi Anugrah
MantraArtinya:
Om anugraha manohara,
devadattanugrahaka,
arcanam sarvapujanam
namah sarvanugrahaka.
Deva devi mahasiddhi,
yajnanga nirmalatmaka,
laksmi siddhisca dirghayuh,
nirvighna sukha vrddhisca
Om, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah,
anugerah pemberian dewa,
pujaan semua pujaan, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah.
Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud yadnya, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan
Saranabunga
5. Sembah puyung (Sembah dengan tangan kosong)
Mantram:artinya:
Om deva suksma paramacintyaya nama svahaOm, hormat pada Dewa yang tak terpikirkan, yang maha tinggi, yang gaib.

Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon tirta dan bija
. sumber : babadbali.com

Doa Sehari-Hari Menurut Hindu





Pada umumnya, sebelum melakukan persembahyangan –baik dengan Puja Trisandya maupun Panca Sembah– didahului dengan penyucian badan dan sarana persembahyangan. Urutannya sebagai berikut:






1. Duduk dengan tenang. Lakukan Pranayama dan setelah suasananya tenang ucapkan mantram ini:




OM PRASADA STHITI SARIRA SIWA SUCI NIRMALAYA NAMAH SWAHA


Artinya: Ya Tuhan, dalam wujud Hyang Siwa, hamba-Mu telah duduk tenang, suci, dan tiada noda.






2. Kalau tersedia air bersihkan tangan pakai air. Kalau tidak ada ambil bunga dan gosokkan pada kedua tangan. Lalu telapak tangan kanan ditengadahkan di atas tangan kiri dan ucapkan mantram:




OM SUDDHA MAM SWAHA


Artinya: Ya Tuhan, bersihkanlah tangan hamba (bisa juga pengertiannya untuk membersihkan tangan kanan).






Lalu, posisi tangan dibalik. Kini tangan kiri ditengadahkan di atas tangan kanan dan ucapkan mantram:








OM ATI SUDDHA MAM SWAHA


Artinya: Ya Tuhan, lebih dibersihkan lagi tangan hamba (bisa juga pengertiannya untuk membersihkan tangan kiri).






3. Kalau tersedia air (maksudnya air dari rumah, bukan tirtha), lebih baik berkumur sambil mengucapkan mantram di dalam hati:







OM ANG WAKTRA PARISUDDMAM SWAHA

atau lebih pendek:






OM WAKTRA SUDDHAYA NAMAH

Artinya: Ya, Tuhan sucikanlah mulut hamba.




4. Jika tersedia dupa, peganglah dupa yang sudah dinyalakan itu dengan sikap amusti, yakni tangan dicakupkan, kedua ibujari menjepit pangkal dupa yang ditekan oleh telunjuk tangan kanan, dan ucapkan mantra:






OM AM DUPA DIPASTRAYA NAMA SWAHA

Artinya: Ya, Tuhan/Brahma tajamkanlah nyala dupa hamba sehingga sucilah sudah hamba seperti sinar-Mu.





5. Setelah itu lakukanlah puja Trisandya. Jika memuja sendirian dan tidak hafal seluruh puja yang banyaknya enam bait itu, ucapkanlah mantram yang pertama saja (Mantram Gayatri) tetapi diulang sebanyak tiga kali.


Mantram di bawah ini memakai ejaan sebenarnya, “v” dibaca mendekati “w”. Garis miring di atas huruf, dibaca lebih panjang. Permulaan mantram Om bisa diucapkan tiga kali, bisa juga sekali sebagaimana teks di bawah ini:



Puja Tri Sandhya :


OM OM OM BHUR BHUVAH SVAH,


TAT SAVITUR VARENYAM, BHARGO DEVASYA DHIMAHI

DHIYO YO NAH PRACODAYAT


OM NARAYANA EVEDAM SARVAM,


YAD BHUTAM YASCA BHAVYAM,


NISKALANGKO NIRANJANO NIRVIKALPO,


NIRAKHYATAH SUDHO DEVA EKO,


NARAYANO NA DVITYO ASTI KASCIT






OM TVAM SIVAH TVAM MAHADEVA,


ISVARAH PARAMESVARAH,


BRAHMA VISNUSCA RUDRASCA,


PURUSAH PARIKIRTITAH







OM PAPO’HAM PAPA KARMAHAM,


PAPATMA PAPA SAMBAVAH,


TRAHI MAM PUNDARIKAKSAH,


SABAHYABHYANTARAH SUCIH






OM KAMASVA MAM MAHADEVAH,


SARVAPRANI HITANGKARA,


MAM MOCA SARVA PAPEBHYAH,


PALAYASVA SADA SIVAH






OM KSANTAVYAH KAYIKO DOSAH,


KSANTAVYO VACIKA MAMA,


KSANTAVYO MANASO DOSAH,


TAT PRAMADAT KSAMASVA MAM,


OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM






Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa yang menguasai ketiga dunia ini, Engkau Maha Suci, sumber segala cahaya dan kehidupan, berikanlah budi nurani kami penerangan sinar cahaya-Mu Yang Maha Suci.
Om Sanghyang Widhi Wasa, sumber segala ciptaan, sumber semua makhluk dan kehidupan, Engkau tak ternoda, suci murni, abadi dan tak ternyatakan. Engkau Maha Suci dan tiadalah Tuhan yang kedua.
Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau disebut juga Siwa, Mahadewa, Brahma, Wisnu dan juga Rudra, karena Engkau adalah asal mula segala yang ada.
Om Sanghyang Widhi Wasa, hamba-Mu penuh kenestapaan, nestapa dalam perbuatan, jiwa, kelahiran. Karena itu oh Hyang Widhi, selamatkanlah hamba dari kenestapaan ini, dan sucikanlah lahir bathin hamba.
Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Utama, ampunilah hamba-Mu, semua makhluk Engkau jadikan sejahtera, dan Engkau bebaskan hamba-Mu dari segala kenestapaan atas tuntunan suci-Mu oh Penguasa kehidupan.
Om Sanghyang Widhi Wasa, ampunilah segala dosa dari perbuatan, ucapan, dan pikiran hamba, semoga segala kelalaian hamba itu Engkau ampuni. Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu.


Setelah selesai memuja Trisandya dilanjutkan Panca Sembah. Kalau tidak melakukan persembahyangan Trisandya (mungkin tadi sudah di rumah) dan langsung memuja dengan Panca Sembah, maka setelah membaca mantram untuk dupa langsung saja menyucikan bunga atau kawangen yang akan dipakai muspa.













Ambil bunga atau kawangen itu diangkat di hadapan dada dan ucapkan mantram ini:



OM PUSPA DANTA YA NAMAH SWAHA

Artinya: Ya Tuhan, semoga bunga ini cemerlang dan suci.






Urutan sembahyang ini sama saja, baik dipimpin oleh pandita atau pemangku, maupun bersembahyang sendirian. Cuma, jika dipimpin pandita yang sudah melakukan dwijati, ada kemungkinan mantramnya lebih panjang.






Kalau hafal bisa diikuti, tetapi kalau tidak hafal sebaiknya lakukan mantram-mantram pendek sebagai berikut:






1. Dengan tangan kosong (sembah puyung). Cakupkan tangan kosong dan pusatkan pikiran dan ucapkan mantram ini:



OM ATMA TATTWATMA SUDDHA MAM SWAHA


Artinya: Ya Tuhan, atma atau jiwa dan kebenaran, bersihkanlah hamba.






2. Sembahyang dengan bunga, ditujukan kepada Hyang Widhi dalam wujudNya sebagai Hyang Surya atau Siwa Aditya. Ucapkan mantram:



OM ADITYASYA PARAM JYOTI
RAKTA TEJO NAMO’STUTE
SWETA PANKAJA MADHYASTHA
BHASKARAYA NAMO’STUTE


Artinya: Ya Tuhan, Sinar Hyang Surya Yang Maha Hebat. Engkau bersinar merah, hamba memuja Engkau. Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah teratai putih. Hamba memuja Engkau yang menciptakan sinar matahari berkilauan.





3. Sembahyang dengan kawangen. Bila tidak ada, yang dipakai adalah bunga. Sembahyang ini ditujukan kepada Istadewata pada hari dan tempat persembahyangan itu. Istadewata ini adalah Dewata yang diinginkan kehadiran-Nya pada waktu memuja.






Istadewata adalah perwujudan Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai wujudNya. Jadi mantramnya bisa berbeda-beda tergantung di mana dan kapan bersembahyang.






Mantram di bawah ini adalah mantram umum yang biasanya dipakai saat Purnama atau Tilem atau di Pura Kahyangan Jagat:



OM NAMA DEWA ADHISTHANAYA
SARWA WYAPI WAI SIWAYA
PADMASANA EKA PRATISTHAYA
ARDHANARESWARYAI NAMO NAMAH


Artinya: Ya Tuhan, kepada dewata yang bersemayam pada tempat yang luhur, kepada Hyang Siwa yang berada di mana-mana, kepada dewata yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai di suatu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba memuja.






4. Sembahyang dengan bunga atau kawangen untuk memohon waranugraha. Usai mengucapkan mantram, ada yang memperlakukan bunga itu langsung sebagai wara-nugraha, jadi tidak “dilentikkan/dipersembahkan” tetapi dibungakan di kepala (wanita) atau di atas kuping kanan (laki-laki).


Mantramnya adalah:



OM ANUGRAHA MANOHARAM
DEWA DATTA NUGRAHAKA
ARCANAM SARWA PUJANAM
NAMAH SARWA NUGRAHAKA


DEWA-DEWI MAHASIDDHI
YAJÑANYA NIRMALATMAKA
LAKSMI SIDDHISÇA DIRGHAYUH
NIRWIGHNA SUKHA WRDDISCA

Artinya: Ya Tuhan, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah pemberian Dewata, pujaan segala pujaan, hamba memujaMu sebagai pemberi segala anugrah. Kemahasiddhian pada Dewa dan Dewi berwujud jadnya suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan rohani dan jasmani.




5. Sembahyang dengan cakupan tangan kosong, persis seperti yang pertama. Cuma sekarang ini sebagai penutup. Usai mengucapkan mantram, tangan berangsur-angsur diturunkan sambil melemaskan badan dan pikiran. Mantramnya:



OM DEWA SUKSMA PARAMA CINTYAYA NAMA SWAHA.
OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM

Artinya: Ya Tuhan, hamba memuja Engkau Dewata yang tidak terpikirkan, maha tinggi dan maha gaib. Ya Tuhan, anugerahkan kepada hamba kedamaian, damai, damai, Ya Tuhan.





__ >>>Selesai<<<__








Untuk memuja di Pura atau tempat suci tertentu, kita bisa menggunakan mantram lain yang disesuaikan dengan tempat dan dalam keadaan bagaimana kita bersembahyang. Yang diganti adalah mantram sembahyang urutan ketiga dari Panca Sembah, yakni yang ditujukan kepada Istadewata. Berikut ini contohnya:






Untuk memuja di Padmasana, Sanggar Tawang, dapat digunakan salah satu contoh dari dua mantram di bawah ini:




OM, AKASAM NIRMALAM SUNYAM
GURU DEWA BHYOMANTARAM
CIWA NIRWANA WIRYANAM
REKHA OMKARA WIJAYAM


Artinya: YaTuhan, penguasa angkasa raya yang suci dan hening. Guru rohani yang suci berstana di angkasa raya. Siwa yang agung penguasa nirwana sebagai Omkara yang senantiasa jaya, hamba memujaMu.




OM NAMA DEWA ADHISTHANAYA
SARVA WYAPI VAI SIWAYA
PADMASANA EKAPRATISTHAYA
ARDHANARESWARYAI NAMO’NAMAH


Artinya: Ya Tuhan, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi, kepada Siwa yang sesungguhnyalah berada di mana-mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvarì, hamba memujaMu.






Untuk di pura Kahyangan Tiga, ketika memuja di Pura Desa, digunakan mantram sebagai berikut:




OM ISANAH SARWA WIDYANAM
ISWARAH SARWA BHUTANAM
BRAHMANO’ DHIPATIR BRAHMA

SIVO ASTU SADASIWA


Artinya: Ya Tuhan, Hyang Tunggal Yang Maha Sadar, selaku Yang Maha Kuasa menguasai semua makhluk hidup. Brahma Maha Tinggi, selaku Siwa dan Sadasiwa.






Untuk di pura Kahyangan Tiga, ketika memuja di Pura Puseh, mantramnya begini:




OM, GIRIMURTI MAHAWIRYAM
MAHADEWA PRATISTHA LINGGAM
SARWADEWA PRANAMYANAM
SARWA JAGAT PRATISTHANAM

Artinya: Ya Tuhan, selaku Girimurti Yang Maha Agung, dengan lingga yang jadi stana Mahadewa, semua dewa-dewa tunduk padaMu.


Untuk memuja di Pura Dalem, masih dalam Kahyangan Tiga:




OM, CATUR DIWJA MAHASAKTI
CATUR ASRAME BHATTARI
SIWA JAGATPATI DEWI
DURGA SARIRA DEWI

Artinya: YaTuhan, saktiMu berwujud Catur Dewi, yang dipuja oleh catur asrama, sakti dari Ciwa, Raja Semesta Alam, dalam wujud Dewi Durga. Ya, Catur Dewi, hamba menyembah ke bawah kakiMu, bebaskan hamba dari segala bencana.




Untuk bersembahyang di Pura Prajapati, mantramnya:




OM BRAHMA PRAJAPATIH SRESTHAH
SWAYAMBHUR WARADO GURUH
PADMAYONIS CATUR WAKTRO
BRAHMA SAKALAM UCYATE


Artinya: Ya Tuhan, dalam wujudMu sebagai Brahma Prajapati, pencipta semua makhluk, maha mulia, yang menjadikan diriNya sendiri, pemberi anugerah mahaguru, lahir dari bunga teratai, memiliki empat wajah dalam satu badan, maha sempurna, penuh rahasia, Hyang Brahma Maha Agung.






Untuk di Pura Pemerajan/Kamimitan (rong tiga), paibon, dadia atau padharman, mantramnya:




OM BRAHMA WISNU ISWARA DEWAM
TRIPURUSA SUDDHATMAKAM
TRIDEWA TRIMURTI LOKAM
SARWA WIGHNA WINASANAM

Artinya: Ya Tuhan, dalam wujudMu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Dewa Tripurusa MahaSuci, Tridewa adalah Trimurti, semogalah hamba terbebas dari segala bencana.


Untuk di Pura Segara atau di tepi pantai, mantramnya:




OM NAGENDRA KRURA MURTINAM
GAJENDRA MATSYA WAKTRANAM
BARUNA DEWA MASARIRAM
SARWA JAGAT SUDDHATMAKAM


Artinya: Ya Tuhan, wujudMu menakutkan sebagai raja para naga, raja gagah yang bermoncong ikan, Engkau adalah Dewa Baruna yang maha suci, meresapi dunia dengan kesucian jiwa, hamba memujaMu.






Untuk di Pura Batur, Ulunsui, Ulundanu, mantramnya:




OM SRIDHANA DEWIKA RAMYA

SARWA RUPAWATI TATHA

SARWA JÑANA MANISCAIWA
SRI SRIDEWI NAMO’STUTE

Artinya: Ya Tuhan, Engkau hamba puja sebagai Dewi Sri yang maha cantik, dewi dari kekayaan yang memiliki segala keindahan. la adalah benih yang maha mengetahui. Ya Tuhan Maha Agung Dewi Sri, hamba memujaMu.


Untuk bersembahyang pada hari Saraswati, atau tatkala memuja Hyang Saraswati. Mantramnya:







OM SARASWATI NAMAS TUBHYAM
WARADE KAMA RUPINI
SIDDHARAMBHAM KARISYAMI
SIDDHIR BHAWANTU ME SADA


Artinya: Ya Tuhan dalam wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati, pemberi berkah, terwujud dalam bentuk yang sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu sukses atas waranugraha-Mu.






Untuk bersembahyang di pemujaan para Rsi Agung seperti Danghyang Dwijendra, Danghyang Astapaka, Mpu Agnijaya, Mpu Semeru, Mpu Kuturan dan lainnya, gunakan mantram ini:








OM DWIJENDRA PURVANAM SIWAM
BRAHMANAM PURWATISTHANAM
SARWA DEWA MA SARIRAM
SURYA NISAKARAM DEWAM





Artinya: Ya, Tuhan dalam wujudMu sebagai Siwa, raja dari sekalian pandita, la adalah Brahma, berdiri tegak paling depan, la yang menyatu dalam semua dewata. la yang meliputi dan memenuhi matahari dan bulan, kami memuja Siwa para pandita agung.


Demikianlah beberapa mantram yang dipakai untuk bersembahyang pada tempat-tempat tertentu. Sekali lagi, mantram ini menggantikan “mantram umum” pada saat menyembah kepada Istadewata, yakni sembahyang urutan ketiga pada Panca Sembah.






Terakhir, ini sembahyang ke hadapan Hyang Ganapati (Ganesha), namun dalam kaitan upacara mecaru (rsigana), atau memuja di Sanggah Natah atau Tunggun Karang, tak ada kaitannya dengan Panca Sembah:








OM GANAPATI RSI PUTRAM
BHUKTYANTU WEDA TARPANAM
BHUKTYANTAU JAGAT TRILOKAM
SUDDHA PURNA SARIRINAM


Demikianlah mantram untuk Istadewata.


























from : http://stitidharma.org/doa-sehari-hari-menurut-hindu/