Tradisi Ngerebong, Tradisi Sakral Desa Kesiman

Tradisi Ngerebong merupakan tradisi kuno Desa Kesiman yang sudah berusia ratusan tahun. Lewat upacara yang digelar setiap 210 hari sekali ini, warga desa percaya akan diberi keselamatan terhindar dari wabah dan bencana.
Ngerebong, tradisi unik di Desa Pekraman Kesiman. Ngerebong merupakan tradisi yang digelar delapan hari setelah Hari Raya Kuningan yakni Redite Pon Wuku Medangsia menurut penanggalan kalender Bali.
Tradisi Ngerebong ini pun tidak hanya tertutup untuk masyarakat Bali saja, melainkan juga terbuka bagi masyarakat umum yang ingin menyaksikan. Namun untuk bisa menikmati keunikan tradisi tersebut, anda diharuskan memakai pakaian tradisional khas Bali dan pantangan bagi seorang wanita yang sedang datang bulan memasuki areal pura.
Ngerebong sendiri berasal dari bahasa Bali yang artinya berkumpul. Masyarakat setempat percaya bahwa pada hari ngerobong adalah hari dimana para dewa berkumpul. Pusat dari tradisi ini dilakukan di Pura Petilan daerah Kesiman Denpasar.
Upacara Ngerebong itu sendiri bertujuan untuk mengingatkan umat hindu melalui ritual sakral tadi untuk terus memelihara keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam.
Sebelum acara puncak dimulai biasanya masyarakat sudah memenuhi area acara dengan adanya beberapa suguhan seperti alunan musik tradisional, bunga-bungaan dalam tempayan cantik, serta penjor-penjor. Masyarakat  mengawali upacara ini dengan sembahyang di Pura tersebut.
Puncak acara dari tradisi Ngerebong ini ditandai dengan penyisiran jalan oleh pecalang (polisi adat setempat). Kemudian para pemedek keluar dari pura untuk melanjutkan ritualnya dengan mengelilingi wantilan tempat adu ayam tadi sebanyak 3 kali putaran. Pada saat mengitari wantilan beberapa pemedek akan mengalami kesurupan/kerasukan dengan berteriak, menggeram, menangis sambil menari diiringi alunan musik tradisional.

Sekilas Tentang Pangrebongan Kesiman
Pura Pangrebongan atau dikenal dengan Pura Petilan merupakan salah satu pura di Denpasar yang keberadaannya sangat erat kaitannya dengan sejarah puri di Kesiman. Pura yang terletak di sisi utara Jalan WR. Supratman, Denpasar tersebut memiliki nilai sejarah dan tradisi unik yakni Ngerebong setiap Redite Pon Medangsia.
Sekilas mengenai sejarahnya, awalnya Puri Kesiman bertempat di sebelah timur Sungai Ayung. Nama purinya waktu itu adalah Puri Kertalangu yang dipimpin oleh raja dari keturunan Arya Pinatih. Dalam bahasa Bali, kertalangu berarti tertib, indah, menyenangkan.
Atas prakarsa Raja waktu itu, di selatan Puri Kertalangu didirikanlah pura sebagai tempat pemujaan dan juga untuk menyatukan rakyat yang menjadi tanggung jawab kerajaan. Pura tersebut diberi nama Pura Dalem Kesiman. Meski namanya Pura Dalem Kesiman, namun pura tersebut bukanlah pura dalem unsur dari khayangan tiga melainkan hanya sebutan untuk tempat pemujaan raja zaman dahulu. Sebab, istilah dalem merupakan sebutan raja zaman dahulu.
Setelah beberapa lama, Raja di Puri Kertalangu ada masalah dengan Dukuh Sakti dari Pahang. Untuk menyelamatkan keluarga Puri Kertalangu, Raja berpindah ke daerah Sanur dan kemudian mendirikan pura di Pantai Sanur dengan nama Pura Jumenang. Dengan pindahnya Raja Puri di Kertalangu ke Sanur, maka rakyat Kesiman menjadi tidak terurus dengan baik. Keadaan ini kemudian didengar oleh Raja Badung yang bertahta di sebelah barat Sungai Badung. Untuk mengatasinya, maka Raja Badung (Pemecutan) mengutus putranya dan menetap di Puri Kedaton atau Puri Kesiman Ugi. Untuk memikat hati rakyat, maka berbagai tempat pemujaan diperbaiki termasuk juga Pura Petilan.
Saat pemerintahan Puri Kedaton, upacara tersebut dilakukan secara tetap di Pura Petilan atau yang lebih populer dengan nama Pura Pangrebongan. Upacara itu pun dilakukan secara tetap setelah Pura Petilan dipugar dan dilengkapi dengan berbagai pelinggih.
Perjalanan pemerintahan Puri Kedaton berjalan cukup lama. Setelah berjalan tiga keturunan, Raja Kesiman meninggal bersama permaisurinya dan meninggalkan seorang putri yang bernama Anak Agung Istri Putu Ngurah. Sebagai seorang putri yang ditinggal kedua orang tua dan saudaranya tentunya sangat kebingungan terutama dalam menyelenggarakan upacara pitra yadnya bagi orang tuanya yang meninggal itu. Dalam keadaan itu, sang putri berkaul barang siapa yang mampu menyelenggarakan upacara pitra yadnya ayahnya A.A. Istri Putu Ngurah Alan bersedia menjadi istrinya dan akan setia pada sang suami.
Mendengar kaul sang putri, maka perbekel kerajaan dari warga Tangkas menghadap Raja Badung melaporkan kaul sang putri. Raja Badung akhirnya mengutus putra kerajaan yang bernama Anak Agung Gede Pemecutan untuk memenuhi kaul sang putri. Setelah menyelenggarakan upacara pitra yadnya, akhirnya putra kerajaan menikahi sang putri.
Putra raja Badung inilah yang menjadi raja di Kesiman dengan gelar Cokorda Kesiman atau Batara Inggas. Sebagai raja baru, beliau mendirikan puri baru di sebelah barat Puri Kedaton atau Puri Kesiman Baru. Untuk menguatkan dukungan rakyat di Kesiman, maka tempat pemujaan di wilayah Kesiman pun diperbaiki. Di bagian timur Pura Petilan dibangun tempat pemujaan warga Pasek, Warga Gaduh, Warga Dangka. Demikian juga tempat pemujaan yang ada hubungannya dengan Pura Petilan dipugar oleh Raja. Pura tersebut antara lain Pura Kedaton, Pura Urasana, Pura Kesiman, dan Pura Tojan. Demikian juga upacara di Pura Petilan diteruskan dan saat upacara, Raja pun bersama rakyat ikut bersembahyang bersama-sama di Pura Petilan. Pengrebongan arca penambahan raja juga ikut diusung dan distanakan di Gedung Agung bersama arca Dalem Kesiman.
Di Pura Petilan Kesiman terdapat pelinggih gedong agung yang terletak di tengah-tengah dengan dasar bedawang nala tempat menstanakan arca. Ada juga gedong di sebelah gedong agung tempat menstanakan pura manca pengerob dan semua pecanangan atau pratima dari seluruh pura di daerah kesiman saat upacara pengerebongan di Pura Petilan.
Pura Petilan sangat menarik karena sebagai pemersatu rakyat dengan berbagai soroh atau warga dengan berbagai profesinya. Mereka disatukan atas dasar kekuatan keagamaan seperti keberadaan pura yang tidak hanya berfungsi sebagai media pemujaan pada Tuhan dan roh suci leluhur, melainkan juga untuk menjangkau aspek sosial budaya.


EmoticonEmoticon